Opini

Sumbar Darurat Gempa!! Belajar Dari Masa Lalu untuk Mitigasi Bencana Melalui Sastra

Dibaca : 430

Oleh : Siti Awal Syaravina | 2010721004
Mahasiswi aktif jurusan Sastra Indonesia, Universitas Andalas

 

Sastra adalah media penting yang menguak dan mengungkapkan aspek-aspek kehidupan yang paling besar. Mengapa demikian? Melalui sastra kita bisa mengungkap tabir kehidupan di masa lalu. Sastra ibarat pintu kemana saja yang menjembatani kehidupan masa sekarang dengan masa lalu sehingga kita mengetahui kejadian besar apa yang pernah terjadi di kehidupan sebelumnya. Contoh dalam bidang ilmu filologi, melalui naskah-naskah kuno yang tersebar di nusantara, kita dapat mengetahui dan menjadikannya sebagai pembelajaran di masa mendatang.
Misalnya pada buku tetang “Kajian Kebencanaan dalam Naskah Panjeblugipun Redi Kelut” tulisan Suyami, dkk merupakan tulisan yang menguraikan tentang peristiwa meletusnya gunung Kelut yang terjadi pada tahun 1919. Kajian ini diangkat dari naskah kuno tulisan perseorangan (pribadi) dari pengalamannya ketika merasakan peristiwa erupsi itu. Buku ini menggambarkan bagaimana mitigasi bencana yang bisa dilakukan saat itu serta melukiskan kondisi masyarakat akibat erupsi tersebut. Berdasarkan uraian pada buku ini, dapat disimpulkan bahwa meletusnya Gunungapi Kelut pada hari Selasa Kliwon tanggal 20 Mei 1919 memakan banyak korban tidak kurang dari 10.000, bahkan ada yang mengabarkan 50.000 korban. Adapun bangkainya hewan piaraan dan unggas tidak terhitung banyaknya. Ini terjadi karena mulanya terdengar dentuman yang sangat keras berasal dari gunung Kelut sehingga terjadi gempa yang sangat kuat, lalu disusul dengan Gunungapi Kelut meletus dan terjadi banjir lahar panas yang tingginya mencapai 1 meter lebih dan menyapu sebagian besar wilayah Abdeling (Kota) Blitar. Banjir lahar panas tersebut terjadi karena pada saat Gunungapi Kelut meletus pada waktu itu tebing puncak Gunungapi Kelut runtuh, dan bongkahan runtuhan tebing puncak gunung tersebut jatuh ke dalam danau kawah puncak Gunungapi Kelut sehingga air kawah yang sudah bercampur lava letusan gunung tersebut meluap, membanjir ke wilayah yang lebih rendah. Peristiwa letusan gunung api Kelut ini termasuk dalam bencana terbesar yang dihasilkan oleh aktivitas gunung Kelut pada abad ke-20.
Dari uraian di atas, jika kita kaitkan dengan keadaan yang terjadi di Sumatera Barat akhir-akhir ini. Tercatat selama bulan September 2022, telah terjadi sebanyak 19 gempa dengan kekuatan magnitudo berkisar antara 3-6 (BMKG). Hal inilah yang membuat Sumatera Barat mendapat semboyan “orang Sumbar tahan gempa”, mengingat seringnya gempa yang terjadi di Sumatera Barat. Selain gempa, Sumatera barat juga rawan akan gunung api aktif. Terdapat empat gunung api aktif di Sumatera Barat yaitu gunung Kerinci, gunung Talang, gunung Tandikek, dan gunung Marapi. Tentunya bencana gempa sangat berpotensi mengakibatkan letusan gunung api. Mengapa sumatera Barat rawan gempa? Hal ini disebabkan oleh tatanan tektonik di Sumatera. Tatanan Tektonik ini menjadi sumber terjadi gempa bumi, ke tiga tatanan tektonik tersebut adalah Zona Subduksi antara lempeng tektonik India-Australia dengan lempeng Eurasia, Mentawai Fault System (MFS) dan Sumatra Fault System (SFS) atau sesar Sumatera.
Selain ke tiga tatanan tektonik di atas, juga dikenal patahan semangko di pulau Sumatera. Patahan Semangko adalah bentukan geologi yang membentang di Pulau Sumatera dari utara ke selatan, dimulai dari Aceh hingga Teluk Semangka di Lampung. Patahan ini juga melalui Bukittinggi sampai ke Solok Selatan. Patahan Semangko ini paling mudah terlihat di daerah Ngarai Sianok dan Lembah Anai di dekat Kota Bukittinggi. Pada tanggal 28 Juni 1926, gempa dahsyat 7.8 Skala Richter mengguncang Padang Panjang. Akibat gempa ini tercatat korban tewas lebih dari 354 orang. Kerusakan parah terjadi di sekitar Danau Singkarak Bukit Tinggi, Danau Maninjau, Padang Panjang, Kabupaten Solok, Sawah Lunto dan Alahan Panjang. Gempa susulan mengakibatkan kerusakan pada sebagian wilayah Danau Singkarak. Tercatat di Kabupaten Agam sebanyak 472 rumah roboh, 57 orang tewas dan 16 orang luka berat. Di Padang Panjang sebanyak 2.383 rumah roboh, 247 orang tewas. Dampak gempa juga menimbulkan banyak tanah terbelah, longsoran di Padang Panjang, Kubu Krambil dan Simabur. (dikutip dari bpbd.solokkota.go.id)
Sebagai daerah yang rawan gempa, sudah seharusnya kita belajar dari masa lalu bagaimana cara penanganan bencana dengan segala upaya untuk mengurangi risiko bencananya atau yang disebut dengan mitigasi bencana. Berangkat dari naskah yang membahas meletusnya gunung Kelut tahun 1919, beberapa mitigasi bencana yang sangat relevan kita kaitkan dengan situasi sekarang ialah:
1. Mitigasi pada fase pra-bencana
Disarankan kepada orang-orang yang bertempat tinggal di daerah rawan ancaman bencana seperti gempa, tsunami dan letusan gunung api, usahakan memilih tempat tinggal di lokasi yang relatif tinggi dan memilih bahan bangunan yang baik untuk memperkecil kemungkinan kerusakan yang dikibatkan gempa. Untuk mengurangi risiko banjir lahar yang disebabkan oleh gunung meletus, diperlukannya membuat sudetan (terowongan) untuk mengalirkan dan mengurangi volume air yang disebabkan oleh hujan pada kawah gunung api. Belajar juga dari kisah masa lalu bahwa banjir lahar akibat meletusnya gunung Kelut tahun 1919 diakibatkan oleh volume air yang tinggi pada kawah gunung.
2. Mitigasi pada fase saat terjadi bencana
Pada saat terjadi bencana, warga disarankan agar tidak panik, melainkan mendengar dan mengamati secara seksama dari mana asal suara gemuruh, letusan bahkan arah datangnya gelombang air. selain itu, hendaklah bagi yang tempat tinggalnya berada di lokasi tanah yang rendah, mengungsilah ke tempat yang lebih tinggi. Jika tempat tinggalnya berada di lokasi tanah yang tinggi, jangan tinggalkan tempat itu, namun cukup berusaha berada di tempat yang lebih tinggi, misalnya memanjat pohon disekitar rumah, dan yang paling terpenting adalah jangan lupa berdoa kepada Tuhan dalam keadaan apapun karena hanya kepadanyalah tempat kita memohon pertolongan dan ampunan
3. Mitigasi pada fase pasca bencana
Adapun mitigasi pada fase pasca terjadinya bencana meliputi penanganan dan penyelamatan korban, pemulihan lingkungan serta pemulihan kesejahteraan korban serta mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan penanganan bencana susulan.
Dari urain di atas dapat disimpulkan bahwa, melalui bidang kesusteraan kita bisa mempelajari berbagai aspek termasuk pembelajaran akan bencana yang terjadi di masa lalu. Ini merupakan suatu ingatan kolektif dimana bisa kita jadikan sebagai bahan pembelajaran untuk kita semua terutama untuk kita yang tinggal di daerah Sumatera Barat. (*)


Baca Juga :

Berani Komen Itu Baik
To Top