Artikel

Selamat Ulang Tahun Nona Sayang


Catatan : Ilham Bintang

Dibaca : 889

Kalau menuruti kemauan, kami pengin lebih dari itu. Sudah menikah dan melahirkan anak pun semua anak biar tinggal satu rumah saja. Biarlah rumah kami sesak. Dalam tradisi keluarga Minang dikenal sebagai rumah gadang. Ibunya juga sangat mendambakan itu. Dan, pernah dia coba merealisasikan. Dia bangun rumah di atas lahan kosong kami dengan kamar yang banyak untuk menampung semua anak dan cucu. Tapi impian tinggallah impian. Hanya sekali waktu saya ingat itu terjadi. Pada bulan Ramadhan. Itupun karena kebetulan pembantu- pembantu mereka mudik dan anaknya masih kecil – kecil.

Sebentar saja mereka bisa beradaptasi dengan keadaan itu dan mengatasinya secara mandiri. Sekali itu saja terjadi. Yang masih bisa dipertahankan, mereka semua berumah satu komplek perumahan dengan kami. Bertetangga rumah. Ada juga yang bersebelahan. Generasi anak- anak berbeda dengan generasi orang tuanya. Mereka bebas menentukan pilihannya sendiri. Kami sadar dunia memang sudah berubah. Sebagai orang tua, kami harus bisa menerima keadaan itu. Ternyata, tidak selalu pilihan mereka salah. Seperti sekarang. Saat wabah covid-19 merebak pilihan pisah rumah itu ternyata benar. Ada hikmahnya.

Protokol kesehatan mengharuskan orang menjaga jarak satu sama lain. Bayangkan betapa menghatirkannya jika kami semua satu rumah.

Anak dan menantu yang sama-sama dokter membuat protokol ketat buat keluarga. Protokol itulah yang kami patuhi sejak tiga minggu lalu. Kami mengurung keluarga masing-masing dalam rumah. Kami sudah tiga minggu tidak bertemu fisik dengan delapan cucu. Kami hanya dikirimi foto atau bertatap muka lewat video call.

Arya Gunawan, sahabat kami yang tinggal di Wina Austria menceritakan seperti itu protokol di sana. Tiap rumah hanya boleh dihuni 5 orang selama masa lockdown.

Kalau buka sejarah, pada zaman Nabi juga pernah terjadi wabah seperti ini. Waktu itu Thoun terjadi di Yaman. Warga disuruh berpencaran naik ke gunung untuk menyelamatkan diri dari keganasan wabah yang mematikan itu.

Ketika memutuskan sekolah di LN dengan Nona kami lama berdiskusi. Saya sedih justru karena semua argumentasinya benar. “Ini untuk masa depan Nona. Ke depan dunia makin sulit. Nona harus sama pintarnya dengan Abang-Abang Nona, “ ucapnya.

Halaman : 1 2 3 4 5

Baca Juga :

Berani Komen Itu Baik
To Top