Budaya

Pendidikan Surau Tetap jadi Solusi Bangkitkan Minangkabau Kekinian


Oleh : Rudi Yudistira (Wartawan Muda)

Dibaca : 1.4K

Karena mereka terlahir dimasa kejayaan Surau, mencetak generasi siap pakai. Mencetak generasi berkarakter tegas, lugas, cerdas, cendikiawan, sederhana, mandiri, bermartabat, amanah, jujur, adil, kesatria, patriot dan hebat berdiplomat.

Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah menjadi pondasi dasar dengan filosifi “Alam Takambang Jadi Guru” dalam diri mereka. “Raso Pareso” adalah ketajaman jiwa dalam berinteraksi sosial, sehingga sikap kehati-hatian memperhalus budi, bertutur kata yang indah. Pituah itu seperti :

Nan Kuriak Kundi,
Nan Merah Sago.
Nan Baiak Budi,
Nan Indah Bahaso.

Budaya inilah sebagai rel kereta yang mendidik melalui Pendidikan Surau untuk berpijak di atas Bumi, berfikir dalam alam logika, merasa di hati sanu bari, bergerak melangkah dan bertindak dengan panca indra.

Surau tidak hanya mematangkan Ilmu Agama Islam yang menjadi hubungan dengan Sang Kaliq, juga melatih diri kepada sesama Makluk-NYA. Habluminannas wa Habluminallah.

Di surau lah orang tua, guru, ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai mendidik mengasah ketajaman lahir dan bathin dengan Silat. Silat Lahiriah, Silat Bathiniah dan Silat Lidah. “Lahia mencari kawan, Bathin mencari Tuhan“.

Merujuk lagi kepada tatanan sosial matrilineal Minangkabau, terdapat tiga komponen penting, yang bahu membahu, saling melengkapi dan menjaga generasi menjadi lebih baik dimasa akan datang. Istilah “Tigo Tali Sapilin, Tungku Tigo Sajarangan” merupakan tiga tokoh wajib ada, berperan dan bertanggungjawab.

Ninik Mamak, Alim Ulama dan Cadiak Pandai terhimpun dalam wadah Kerapatan Adat Nagari. Memegang beban pengawasan, kontrol sosial bahkan memberi sanksi sesuai Adat Salingka Nagari yang tetap merujuk pada Al Quran dan Hadis.

Pertanyaannya, sudahkah ini berjalan sebagaimana mestinya? Hanya masyarakat itu sendiri yang bisa menjawab.

Pada dasarnya, tiga komponen ini hanya bisa dicetak dan dikader melalui pendidikan surau, sementara program tersebut tidak lagi berfungsi dan bahkan hampir punah.

Alasan klasiknya, pendidikan formal telah menggantikan posisi Surau. Apakah pemangku itu tidak bisa menggagas lagi aturannya sendiri agar Pendidikan Surau ini dapat tetap berjalan? Tidak ada yang tidak mungkin, jika azas musyawarah mufakat dilaksanakan dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat. Surau yang menyesuaikan kondisi saat ini tentunya. (***)

Halaman : 1 2

Baca Juga :

Berani Komen Itu Baik
To Top