Hendrawan mengatakan, kegusaran para atlet keturunan Tionghoa akhirnya sirna karena semua anggota lain saling menenangkan. Pernyataan itu diamini Sigit Budiarto yang juga menjadi bagian tim.
“Kami saling mendukung, mensupport. Semua adalah satu untuk Indonesia,” kata Sigit.
Selain kekompakan, manajer tim saat itu, Mayor Jenderal Agus Wirahadikusumah (almarhum), turut memainkan peran. Ia meminta para atlet mengumpulkan daftar nama sekaligus alamat keluarga masing-masing.
“Daftar tersebut lalu dikirimkan Agus Wirahadikusumah kepada Subagyo HS, Ketua Umum PBSI, yang juga Kepala Staf Angkatan Darat, disertai permintaan untuk menurunkan pasukan menjaga rumah keluarga pemain,” tulis buku tersebut.
Pada akhirnya, kekompakan dan persatuan yang ditunjukkan atlet dan anggota tim berujung manis. Tim Piala Thomas Indonesia sukses mempertahankan gelar juara dengan mengalahkan Malaysia.
Lagu Indonesia Raya pun berkumandang di Hong Kong. Tangis kebahagiaan dan rasa haru para atlet pun pecah, disaat mereka berjuang negara sedang rusuh. “Susah diungkapkan dengan kata-kata,” kata Sigit dalam buku tersebut.
Sayang kesuksesan ini tak diikuti tim Uber yang finis sebagai runner-up. Meski begitu, keberhasilan tim Piala Thomas mengembalikan optimisme masyarakat Indonesia. Media-media saat itu pun menyanjung keberhasilan Sigit dan kawan-kawan.
Harian Kompas tanggal 25 Mei 1998 misalnya menulis berita dengan judul Republik Indonesia Masih Ada. “Di tengah keprihatinan yang melanda negeri ini, bulu tangkis mampu mengangkat harkat bangsa yang memungkinkan kita untuk bisa berjalan tegak,” tulis Kompas.
Bertemu Presiden Berbeda
Hendrawan mengatakan, ketika itu dirinya tak pernah menyangka situasi politik di Indonesia akan berubah drastis. Pengalaman berjuang di Piala Thomas 1998 pun menjadi yang paling berkesan buatnya.
Bagaimana tidak, tim saat itu dilepas dan diterima kembali di Tanah Air oleh presiden berbeda. “Waktu pergi, kita dilepas Pak Harto, kita pulang diterima Pak Habibie,” kenang Hendrawan.