Artikel

Cerita Haru Juara Ditengah Prahara Tim Thomas Cup Indonesia 1998: Pergi Dilepas Presiden Soeharto, Pulang Diterima Presiden Habibie


Sudah 19 tahun Indonesia tak lagi menikmati juara Thomas Cup. Padahal sampai detik ini Indonesia tercatat sebagai negara dengan koleksi juara terbanyak di Piala Thomas, yakni 13 kali. Disusul China dengan 10 kali.

Hendrawan saat memastikan Indonesia juara Thomas Cup 1998.

Dibaca : 1.7K

Padang, prokabar – Kejuaraan bulutangkis dunia beregu Thomas & Uber Cup 2021, sedang berlangsung di kota Aarhus, Denmark.  Tim Thomas Indonesia sedang berjuang untuk membawa pulang kembali piala yang terakhir kali direbut tahun 2002 tersebut.

Sudah 19 tahun Indonesia tak lagi menikmati juara Thomas Cup. Padahal sampai detik ini Indonesia tercatat sebagai negara dengan koleksi juara terbanyak di Piala Thomas, yakni 13 kali. Disusul China dengan 10 kali.

Sejarah pernah mencatat, salah satu kejuaraan Thomas Cup yang paling dramatis dan emosional bagi Indonesia adalah tahun 1998.

Tahun yang dicatat sebagai tahun paling menyedihkan dalam perjalanan sejarah bangsa ini, karena dampak kerusuhan Mei 1998. Namun ditengah prahara bangsa itu, tim bulutangkis putra Indonesia jadi juara.

Fakta itu terungkap dalam buku “Dari Kudus Menuju Prestasi Dunia” yang diluncurkan di kantor PB Djarum, Kudus, Jawa Tengah.

Buku tersebut tidak hanya mengisahkan perjalanan 50 tahun PB Djarum membina bulu tangkis di Indonesia. Cerita dampak kerusuhan Mei 1998 itu dirangkum dalam bab khusus berjudul “Juara di Tengah Prahara”.

Ketika itu, para atlet keturunan Tionghoa seperti Candra Wijaya, Hendrawan, Alan Budikusuma, dan Susy Susanti menjadi bagian dari rombongan yang turun di Piala Thomas dan Piala Uber.

Mereka berangkat ke Hongkong dilepas oleh Presiden Soeharto pada tanggal 10 Mei 1998. Tapi itulah pertemuan terakhir dengan sang Presiden.

“Rombongan tim merah putih bertolak ke Hong Kong pada 11 Mei 1998. Sehari kemudian, di Jakarta terjadi penembakan mahasiswa Universitas Trisakti yang berdemonstrasi menuntut Soeharto mundur sebagai presiden,” tulis buku tersebut.

Seperti diketahui, peristiwa itu berujung kepada penjarahan, pembakaran, serta kerusuhan rasial yang menyasar warga keturunan Tionghoa. Hendrawan menuturkan, peristiwa itu membuat para atlet menjadi tidak konsentrasi karena terus memantau situasi di Tanah Air.

“Kita kurang tidur. Tidak pernah bisa istirahat karena televisi 24 jam menyala,” ujar Hendrawan.

Halaman : 1 2 3

Baca Juga :

Berani Komen Itu Baik
To Top