Pilkada

Calon Tunggal Tingkatkan Potensi Kerawanan di Pilkada

Dibaca : 619

Jakarta, Prokabar — Penambahan jumlah calon tunggal di Pilkada 2020 akan meningkatkan potensi kerawanan di daerah tersebut.

Ditambah lagi jika ada bakal pasangan calon (paslon) yang gagal maju pilkada, karena dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS).

“Daerah dengan calon tunggal dan di dalamnya ada bakal paslon yang TMS menjadikan daerah itu dengan kerawanan yang tinggi,” ujar peneliti Lembaga Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Muhammad Ihsan Maulana, melalui keterangan tertulisnya, Kamis (17/9).

Menurut Ihsan, dari seluruh penyelenggaraan pilkada dengan calon tunggal, kampanye pilih kotak kosong baru terlihat masif pada pilwalkot Makassar, dan dilakukan oleh bapaslon yang dinyatakan TMS.

Problemnya, ketika pelaksanaan kampanye kotak kosong itu melanggar ketentuan, tidak ada penindakan yang dapat dilakukan karena tidak diatur.

“Undang-Undang Pilkada, peraturan KPU, dan peraturan Bawaslu belum sampai ke sana membaca tren ini,” ujarnya.

Pembuktian pelanggaran kampanye kotak kosong akan lebih sulit karena tidak ada subjek hukumnya. Jika kotak kosong menang maka pemimpin kepala daerah akan diemban oleh penjabat yang ditunjuk pemerintah.

Penjabat akan bertugas hingga pilkada kembali digelar pada pemilihan berikutnya.

Ihsan mengatakan, tidak adanya pejabat definitif yang dihasilkan dari pilkada dalam waktu yang cukup lama tentu akan berpengaruh pada roda pemerintahan daerah karena terbatasnya kewenangan penjabat.

“Pemborosan anggaran juga akan berdampak karena harus melakukan pilkada kembali,” kata Ihsan.

Ia menerangkan, calon tunggal muncul pertama kali setelah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 100/PUU-XIII/2015 terkait uji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang pilkada. Sebelum dibatalkan MK, UU Pilkada itu mengharuskan minimal dua paslon untuk bisa menyelenggarakan pilkada.

Jika tidak, pelaksanaan pilkada di daerah tersebut akan ditunda hingga pemilihan tahun berikutnya.

Sayangnya, lanjut Ihsan, pascaputusan MK tersebut, calon tunggal dijadikan strategi pemenangan melalui borongan dukungan partai politik.

Ia menyebutkan, sejak dibukanya ruang calon tunggal  pada 2015, jumlah daerah yang menggelar pilkada calon tunggal terus mengalami peningkatan.

Pilkada 2015 terdapat tiga daerah, naik menjadi sembilan daerah pada Pilkada 2017, 16 daerah pada Pilkada 2018, dan 25 daerah berpotensi menggelar Pilkada 2020 dengan calon tunggal.

Ia menilai, tren peningkatan calon tunggal terjadi karena partai politik di daerah gagal melakukan kaderisasi di internal mereka.

Kemudian, ada persepsi partai politik hanya ingin menang saja di pilkada, tetapi mengesampingkan esensi pilkada yakni pendidikan politik kepada masyarakat.

Ia melanjutkan, lagi-lagi, akibat dari problem partai politik itu, masyarakat yang dirugikan. Masyarakat tidak diberikan pilihan calon kepala daerah yang beragam karena saat pilkada dengan calon tunggal, pemilih hanya dihadapkan satu paslon dan kotok kosong.

Sebelumnya, anggota Komisi Pemilihan Umum  (KPU) RI, Ilham Saputra, mengatakan dari 28 daerah yang hanya ada satu bakal paslon, hanya tiga daerah yang menerima pendaftaran calon tambahan.

Halaman : 1 2 3

Baca Juga :

Berani Komen Itu Baik
To Top