Daerah

Ajo Wayoik ‘Hipnotis’ 50 Orang Pokdarwis, Ajak Cintai dan Lestarikan Nilai Budaya

Dibaca : 1.4K

Warga Eropa itu pun agak sedikit kaget, karena di Eropa tidak akan pernah ada warga lain mau diganggu istirahatnya. Bahkan membukakan pintu di malam hari, meski pun sudah saling kenal.

Sampai di dalam rumah, sang ibu pun malah memasak dan menghidangkan makanan. Dengan lahap, warga Indonesia itu dengan lahap makan.

Namun berbeda dengan si Bule Eropa itu, tetasan air mata mengalir indah meresapi begitu dalamnya rasa saling kasih dan menyayangi.

“Inilah manusia yang sebenar-benarnya manusia. Miliki darah dan daging yang menggumpal menyatu dalam tubuh anatomi manusia. Sementara kami di Eropa, hanyalah mesin ibarat robot yang dibentuk hanya untuk bekerja,” tuturnya.

Dengan manusia dan budayanya, menciptakan rasa dan karsa menjalin ikatan kasih dan seni yang halus kepada sesama. Memantapkan karakter berfikir, bersikap dan bertindak mengutamakan tatanan moral atau adab.

“Semua kita, semua manusia, semua orang Minangkabau itu adalah seniman. Sang Ibu yang merawat dan menidurkan anaknya, selalu berdendang dengan nyanyian merdu. Bapak dalam peran sebagai Mamak, Ayah atau guru, memiliki seni memimpin dan mengambil kebijakan,” ulasnya.

Hidup harus memiliki seni. Seni bertutur, seni berfikir, seni bersikap dan seni melakukan aksi bersama-sama. Silat di Minangkabau adalah Silek dan orang Minang tidak akan mau Silek dijadikan Silat. Karena dianggap berbeda.

Silek adalah seni karena memiliki keindahan gerak, berbeda dengan seni bela diri lainnya. Silek seakan-akan terlihat menari-nari, tapi mematikan lawan. Namun uniknya, tidak akan pernah ada orang Minang mau disebut seniman. Hanya mau disebut “Pagurau”.

Untuk saat ini, tidak sedikit kesenian Minang terancam punah. Seperti Rabab, Indang Tuo, Salawat Dulang, Ulu Ambek, Saluang, Pupuik, Sarunai, Sampelong, Tupai Janjang dan sebagainya. Kenapa generasi muda tidak menyukai musik tradisional asli Minang ini? Bagaimana cara menjawab tantangan ini?

“Hobi mereka harus tetap kita iringi yang pada akhirnya dapat kita tarik kembali pada dasar akar budayanya. Seperti mengkolaborasikan musik modern dengan talempong. Karena mereka dicekoki musik barat, maka harus diracuni dengan kolaborasi musik modern dan tradisional. Ketika keindahan bunyi menonjolkan nilai tradisional, dari situlah mereka ditarik dan diajarkan seni tradisi yang memilik karakter yang sesungguhnya,” (rud)

Halaman : 1 2

Baca Juga :

Berani Komen Itu Baik
To Top